Monday , 8 December 2025

Banjir Sumatra dan Hutan yang Hilang

Saya tidak tahu sebenarnya yang terjadi di sana, tetapi saya coba menulis berdasarkan bacaan yang muncul di beranda saya. Jika tulisan ini tidak tepat tolong diingatkan saya. Karena hujan sebenarnya tidak pernah menjadi musuh. Air hanya mengikuti hukum alam: jatuh, mengalir, dan mencari jalan terendah. Namun di banyak wilayah Sumatra, air kini datang seperti tamu yang dipercepat kedatangannya. Banjir bukan lagi peristiwa langka, melainkan siklus yang terasa semakin pendek. Masalahnya bukan pada langit yang terlalu murah memberi hujan, melainkan pada hutan yang terlalu cepat hilang.

Sumatra bukan sekadar pulau besar di barat Indonesia. Ia adalah salah satu benteng ekologis terpenting Asia Tenggara. Hutan hujan tropisnya selama ratusan tahun berfungsi sebagai penyeimbang air. Akar-akar pohon bekerja seperti jaringan penyaring raksasa. Tajuk pohon menahan jatuhnya hujan agar tidak langsung menghantam tanah. Daun membentuk lapisan humus yang membantu air masuk ke dalam tanah secara perlahan. Dalam sistem ini, banjir hampir selalu berada dalam batas yang dapat ditoleransi alam.

Namun keseimbangan itu tidak lagi utuh.

Hutan yang Hilang, Air yang Kehilangan Rem

Dalam ilmu hidrologi, hutan dikenal sebagai sistem pengatur aliran air alami. Ketika hutan ditebang, fungsi itu mati. Tanah menjadi keras, pori-pori tertutup, dan air hujan kehilangan jalur untuk meresap. Yang terjadi kemudian adalah runoff — air mengalir cepat di permukaan tanah menuju sungai.

Di banyak Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sumatra, laju aliran permukaan meningkat drastis setelah kawasan hulu mengalami deforestasi. Sungai menjadi sempit oleh sedimentasi, dasar sungai naik, dan kapasitas tampung air menurun. Pada saat hujan besar datang, sungai tidak lagi mampu menahan debit air. Ia meluap, dan banjir pun menjadi keniscayaan.

Ini bukan dugaan. Ini pola yang berulang secara ilmiah.

Penelitian hidrologi menunjukkan korelasi yang kuat antara luas tutupan hutan dan risiko banjir bandang. Di wilayah yang hutannya masih utuh, banjir cenderung bersifat lambat dan terkontrol. Di wilayah yang hutannya rusak, banjir datang cepat, tinggi, dan merusak.

Dari Hutan ke Lanskap Terbuka

Dalam beberapa dekade terakhir, Sumatra mengalami perubahan lanskap besar-besaran. Hutan primer berubah menjadi lahan terbuka. Sebagian menjadi perkebunan berskala besar, sebagian lagi menjadi area produksi kayu, dan sisanya ditinggalkan dalam kondisi tanpa penyangga ekologis.

Perubahan ini menciptakan apa yang oleh para peneliti disebut sebagai hydrological response change — perubahan cara lanskap merespons hujan. Air yang dahulu ditahan dan dilepas perlahan, kini dilepas secara brutal ke sungai. Siklus air menjadi pendek, agresif, dan sulit dikendalikan.

Di sinilah banjir Sumatra harus dibaca sebagai akibat logis dari perubahan bentang alam, bukan sebagai sekadar akibat cuaca ekstrem.

Banjir Bukan Bencana Alam Murni

Secara konseptual, banjir di Sumatra hari ini tidak sepenuhnya bisa disebut sebagai “bencana alam”. Ia lebih tepat dipahami sebagai bencana ekologi. Alam tidak berubah mendadak. Yang berubah adalah cara manusia memperlakukan hutan.

Dalam perspektif ini, banjir bukan sekadar genangan air, melainkan pesan ekologis yang keras. Ia memberitahu bahwa sistem penyeimbang telah rusak. Bahwa tanah telah kehilangan kemampuan alaminya untuk menyerap. Bahwa sungai telah kehilangan ruang bernapasnya.

Ketika hujan turun di hutan yang utuh, air disambut. Ketika hujan turun di tanah yang gundul, air menjadi ancaman.

Korban dari Sesuatu yang Tidak Mereka Hancurkan

Salah satu ironi terbesar dari banjir Sumatra adalah bahwa korban terbesar justru berada di wilayah hilir. Kota-kota, desa-desa, dan permukiman di dataran rendah menerima dampak dari apa yang terjadi puluhan bahkan ratusan kilometer di hulu.

Petani kehilangan sawahnya. Pedagang kecil kehilangan stok barangnya. Anak-anak kehilangan ruang belajar karena sekolah terendam. Mereka tidak menebang hutan di hulu, namun mereka menanggung akibatnya.

Ini membuat banjir bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga isu keadilan ekologis. Siapa yang mendapatkan manfaat dari pembukaan hutan, dan siapa yang membayar harga dari kerusakan itu?

Membaca Masa Depan Sumatra

Jika hutan terus hilang, maka banjir bukan lagi peristiwa musiman. Ia akan menjadi struktur tetap dalam kehidupan masyarakat Sumatra. Tidak ada teknologi drainase yang mampu sepenuhnya menggantikan fungsi jutaan akar pohon di hutan.

Rehabilitasi hutan bukan sekadar proyek lingkungan. Ia adalah strategi penyelamatan jangka panjang. Reboisasi, perlindungan kawasan hulu DAS, dan penghentian pembukaan hutan yang tidak terkendali adalah satu-satunya jalan rasional jika banjir ingin benar-benar dikurangi, bukan sekadar ditangani setelah terjadi.

banjir di sumatra

Banjir Sumatra bukan cerita tentang hujan yang berlebihan. Ia adalah cerita tentang hutan yang menghilang terlalu cepat. Air tidak berubah. Hutan yang berubah. Dan selama perubahan itu terus berlangsung, air akan selalu menemukan cara untuk mengingatkan manusia bahwa ada keseimbangan yang telah dilanggar.

About Fauzi

Nama saya Fauzi lebih dikenal dengan nama Fauziwong, saya seorang aktifis dibidang pendidikan khususnya pembangunan sistem informasi sekolah terpadu, pengalaman saya lebih dari 10 tahun dimulai tahun 2006, baik untuk bisnis via internet online dan juga off line

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.